Akan aku tancapkan pengaruhku kepadanya! Tidak ada yang boleh mengalahkanku di hadapan Didan. Aku, Sri. Perempuan mandiri dengan pekerjaan yang mumpuni. Secara materi, aku sudah berlebih. Bahkan kendaraanku sudah...
Akan aku tancapkan pengaruhku kepadanya! Tidak ada yang boleh mengalahkanku di hadapan Didan. Aku, Sri. Perempuan mandiri dengan pekerjaan yang mumpuni. Secara materi, aku sudah berlebih. Bahkan kendaraanku sudah...
Tetapi bagaimana dengan Bandung? Aku tidak atau lebih tepatnya belum mengenal teman-temannya di Bandung. Bagaimana caranya supaya aku tahu tentang Didan dan kegiatannya selama di Bandung? Argh! Kepalaku rasanya...
Tetapi bagaimana dengan Bandung? Aku tidak atau lebih tepatnya belum mengenal teman-temannya di Bandung. Bagaimana caranya supaya aku tahu tentang Didan dan kegiatannya selama di Bandung? Argh! Kepalaku rasanya...
Ah! Aku pasti merindukanmu, Didan! “Tidak perlu resah, Sri. Meski kau jauh di sana, engkau tetap selalu berada di dalam hatiku. Kita pasti tetap memiliki kesempatan untuk bertemu. Jangan...
Ah! Aku pasti merindukanmu, Didan! “Tidak perlu resah, Sri. Meski kau jauh di sana, engkau tetap selalu berada di dalam hatiku. Kita pasti tetap memiliki kesempatan untuk bertemu. Jangan...
Sepuluh tahun kami menjalani kehidupan yang teramat bahagia. Bayangkan saja, aku merasa menjadi pasangan sah Didan selama sepuluh tahun! Melayaninya hampir tiap hari selama sepuluh tahun! Bagiku, dia adalah...
Sepuluh tahun kami menjalani kehidupan yang teramat bahagia. Bayangkan saja, aku merasa menjadi pasangan sah Didan selama sepuluh tahun! Melayaninya hampir tiap hari selama sepuluh tahun! Bagiku, dia adalah...
Dia memegang daguku kemudian mencium bibirku. “Mari kita bercinta, Say. Aku sangat merindukan kehangatanmu.” Aku meronta, aku menolak. “Didan, kau rindu pada istrimu? Mengapa kau tidak menelpon dia? Mungkin...
Dia memegang daguku kemudian mencium bibirku. “Mari kita bercinta, Say. Aku sangat merindukan kehangatanmu.” Aku meronta, aku menolak. “Didan, kau rindu pada istrimu? Mengapa kau tidak menelpon dia? Mungkin...
Akan aku tancapkan pengaruhku kepadanya! Tidak ada yang boleh mengalahkanku di hadapan Didan. Aku, Sri. Perempuan mandiri dengan pekerjaan yang mumpuni. Secara materi, aku sudah berlebih. Bahkan kendaraanku sudah sekelas sedan yang dikendarai para menteri. *** Setelah sekian lama mencari, dan mengobrol dengan satu per satu teman perempuan Didan, aku sudah mencurigai tiga di antaranya. Satu orang bernama Reny, bukan teman satu kantor. Mereka bertemu saat ada acara dari kantor kami di Cikarang ternyata. Perempuan ini pemasok makanan khas daerah. Rumahnya di sekitar Bandung. Sepertinya, dia pun sangat mengerti tentang Didan. Satu orang lagi bernama Teni. Setahuku...
Tetapi bagaimana dengan Bandung? Aku tidak atau lebih tepatnya belum mengenal teman-temannya di Bandung. Bagaimana caranya supaya aku tahu tentang Didan dan kegiatannya selama di Bandung? Argh! Kepalaku rasanya mau pecah! Suatu saat aku pasti menemukan jalan! Pasti! *** Waktu terus berjalan. Aku masih tetap bekerja di Purwakarta, sedangkan Didan sudah mulai dengan kegiatannya di kantor barunya di Bandung. Dia bilang jarak antara kantor dan rumahnya dekat, bisa ditempuh hanya sekitar satu jam perjalanan saja. Aku rutin menerima kabar dari dia. Aku pun mendapatkan banyak cerita dari dia, tentang teman-temannya juga tentang pekerjaannya bahkan tentang anak buahnya...
Ah! Aku pasti merindukanmu, Didan! “Tidak perlu resah, Sri. Meski kau jauh di sana, engkau tetap selalu berada di dalam hatiku. Kita pasti tetap memiliki kesempatan untuk bertemu. Jangan pernah khawatir. Saat aku pulang ke Bandung atau berangkat ke Cikarang, aku pasti mampir dulu ke Purwakarta untuk menemuimu. Kita masih memiliki kesempatan untuk bercumbu dan bercinta meskipun dalam waktu yang terbatas. Bahkan keterbatasan itu akan membuat kita semakin rindu satu sama lain. Aku yakin, percintaan kita akan semakin panas dan menyenangkan.” Didan memelukku erat sambil berbisik dengan semua kata-kata yang menenangkanku. Aku sedikit merenggangkan pelukannya, aku melihat ke dalam...
Sepuluh tahun kami menjalani kehidupan yang teramat bahagia. Bayangkan saja, aku merasa menjadi pasangan sah Didan selama sepuluh tahun! Melayaninya hampir tiap hari selama sepuluh tahun! Bagiku, dia adalah suami yang selalu ada untukku saat aku membutuhkan dia. Kebutuhan rohaniku semuanya bias dia penuhi dengan sangat sempurna. Aku merasakan semua beban dalam hidupku musnah ketika dia berada di sampingku. Aku merasakan hidupku sangat penuh, teramat sempurna. Bertemu dan bergandeng tangan dengan lelaki yang pernah aku cintai di masa mudaku, dan sekarang aku kembali merasakan hati yang menggebu terhadapnya. Aku masih dan selalu mencintainya, ternyata. Hati ini masih selalu terbuka...
Dia memegang daguku kemudian mencium bibirku. “Mari kita bercinta, Say. Aku sangat merindukan kehangatanmu.” Aku meronta, aku menolak. “Didan, kau rindu pada istrimu? Mengapa kau tidak menelpon dia? Mungkin kalian bisa melakukan phone sex, daripada kau harus melakukannya denganku seperti ini. Kita sudah sama-sama menikah, dan umur kita pun sudah teramat matang untuk melakukan hal semacam ini.” Bukannya merenggangkan pelukannya, Didan malah semakin mendekatkan tubuhnya kepadaku. “Aku tidak merindukan istriku. Tapi aku menginginkanmu, Sri sayang. Aku tahu kau mencintaiku dari dulu. Maaf jika akhirnya aku lebih memilih istriku. Tapi hari ini aku menginginkanmu, Say. Mulai sekarang, kita akan bebas...
Cerita berkembang bagai bunga mawar yang pelan tapi pasti mulai menampakkan keindahan kelopaknya setelah tidur panjang pada sebuah masa bernama kuncup. Aku dan dia mulai saling berbagi cerita, seperti dahulu semasa sekolah. Kami saling berbagi alamat kontrakan. Kami pun saling tahu bahwa di kota besar ini kami sama-sama tinggal sendiri dan meninggalkan keluarga di kota masing-masing. Kemudian kami pun menjadi lebih sering untuk berangkat kerja dan pulang kerja bersamaan. Didan akan menjemputku di pagi hari dan mengantarkanku pada sore hari. Yah, aku kembali menemani hari-harinya di kota tempat kami bekerja, tanpa keluarga masing-masing. Akhirnya atas permintaan Didan, aku pindah...
Aku bergegas mencari informasi ke bagian HRD untuk menanyakan perihal karyawan baru yang aku lihat tadi. Betul! Kata HRD, nama karyawan baru itu adalah Rudan Didan Salimun Ardiansyah! Didan! Didanku! Ah, aku termenung di meja kerjaku. Banyak tanya menari di dalam kepala. Apakah dia masih Didan yang sama dengan yang dulu? Apakah dia masih mengenaliku? Apakah dia masih mau kenal denganku? Apakah dia sudah menikah bahkan sudah punya anak? Ah… pertanyaan terakhirku rasanya tidak perlu aku tanyakan. Pasti dia sudah menikah. Tetapi tentang anak, aku tidak tahu. Hehe. Yang pasti tubuhku lebih gempal dibandingkan duapuluh lima tahun yang lalu....
Hubungan kami semakin dekat, kegiatan kami selalu sama. Bahkan mata kuliah yang kami ambil pun selalu sama. Untuk orang yang tidak tahu, pasti kami dikira berpacaran. Kelakuan dan tingkah laku memang layaknya orang pacaran. Kami sedikit menjauh jika ada Rano atau Rieka di antara kami. Selebihnya, kami tak terpisahkan. Bahkan kegiatan percintaan kami pun berjalan sangat lancar. Percintaan! Yah, aku melakukan hubungan percintaan tanpa ikatan dengan Didan. Setiap saat, setiap ada waktu. Jangan berpikir terlalu jauh, aku tetap tidak memberikan keperawananku kepdanya. Kami hanya saling membelai, mencium, dan merasakan kepuasan tiada tara saat bersama. Itulah sebabnya aku katakana hubungan...
Yah… gendeng! Kelakuan gila yang kami lakukan, meski tanpa ikatan apapun. Hanya teman, sebatas teman. Teman dekat, mungkin. Tetapi bukan pacar. Pada kenyataannya kami saling membutuhkan satu sama lain dan tidak bisa jauh. Saat itu, Didan sudah punya pacar. Rieka namanya. Tetapi Rieka jarang sekali datang ke rumah Didan. Malah aku lah yang hamper tiap hari menyambangi kediaman Didan. Akhirnya aku pun memiliki pacar, namanya Rano. Yah, aku pikir untuk apa menunggu Didan di saat ada lelaki lain yang menginginkan diriku menemani hari-harinya. Maka jadilah kami sepasang teman dengan pacar masing-masing. Rano sangat tahu tentang hubungan pertemananku dengan Didan....
Namaku Sri. Lebih lengkapnya Sri Martini. Meskipun namaku berkesan nama Jawa, namun aku tidak memiliki darah Jawa sama sekali. Tetapi aku sering mengaku memiliki darah Jawa kepada beberapa orang kenalanku. Sedikit berbohong tak apa, asal orang yang aku ajak mengobrol merasa nyaman. Aku tidak akan menceritakan kehidupanku. Tugasku di sini hanya menceritakan kehidupanku yang berkaitan dengan Didan, atau Rudan Didan Salimun Ardiansyah. Laki-laki yang diam-diam aku cintai. Cinta dari hati, tak perlu diucapkan namun selalu diungkapkan lewat perbuatan. Perbuatan? Iya dong, perbuatan.Perbuatan apa? Sabar. Aku sedang bercerita kan? Hehehe. Aku mengenal dia saat masa sekolah di sekolah menengah. Kebetulan...