Barista Tsunami
Barista Tsunami Cerpen Cerita pendek Cerita anak

Barista Tsunami

Pantai Talise terletak di Kecamatan Palu Timur  di sepanjang teluk Palu, membentang dari kota Palu hingga Kabupaten Donggala. Pantai ini memiliki keindahan panorama yang tidak bisa ditolak. Hamparan teluk dan pegunungan yang sangat eksotik membuat mata enggan berkedip. Pantai Talise memiliki pasir putih dengan ombak yang tenang dan memukau.  Menghabiskan sore di pantai Talise menjadi pilihan warga sekitar karena keindahan panoramanya.  Di pantai Talise warga bisa menikmati matahari terbenam yang memesona dan memanjakan mata.

Wisata air yang disediakan bagi pengunjung pun berragam. Di sini, pengunjung bisa berenang, selancar angin ( wind surfing ), menyelam, memancing, dan berbagai kegiatan lain. Untuk masuk ke pantai Talise, tidak dipungut biaya satu rupiah pun.

Pantai Talise merupakan pantai indah yang menjadi kebanggaan bagi warga sekitar. Banyak juga wisatawan luar daerah bahkan wisatawan asing yang datang ke sini. Selain karena keindahan pantai, para wisatawan juga senang dengan keramahan penduduk sekitar.

 

***

Namun naas, hari itu ombak besar mengamuk di sini. Semua yang terhampar begitu indah menjadi porak poranda dihempas ombak yang tiba-tiba membesar dan meninggi. Bangunan roboh, semua orang berteriak dan menangis. Tangan yang saling bergandengan tiba-tiba terlepas tanpa memiliki kesempatan untuk mempererat jemari. Atap rumah yang menaungi dari hujan dan panas pun tiba-tiba terangkat dan lenyap.

Semua orang berlarian menyelamatkan diri selagi mampu dan bisa. Bapak yang berteriak mencari anak istrinya, ibu yang yang mencari suami dan anaknya, pun anak-anak yang menangis histeris karena kehilangan orang tua. Keadaan tak terkendali sedang terjadi di pantai Talise yang indah.

“Tsunami!”

“Tsunami!”

“Tsunami!”

Terdengar teriakan orang-orang yang berlarian kesana kemari dalam ketakutan. Wajah-wajah tanpa senyum, hanya kepanikan yang terlihat.semua orang berlarian ke arah dataran yang lebih tinggi. Semua harta tidak lagi mereka pikirkan. Harus selamat, hanya itu yang berada dalam pikiran.

 

***

 

Kini pantai Talise yang indah telah rusak, porak poranda, tidak beraturan, karena amukan ombak besar yang sering disebut dengan nama tsunami.

Banyak anak yang mengalami trauma dan kesedihan mendalam karena kehilangan orangtua. Banyak pula orang tua yang memendam pedih dalam hati karena kehilangan anak kesayangan.

Mereka kehilangan rumah, tempat mereka biasa bercengkerama bersama orang-orang tercinta. Dan tempat mereka merebahkan tubuh saat penat. Semuanya musnah hanya dalam hitungan menit.

Begitu pula yang terjadi padaku. Saat ombak tiba-tiba meninggi dan mengamuk, aku sedang bersandar di sebuah tiang besar. Tiba-tiba badanku naik terbawa ombak, rasa kaget menggelayuti diri. tak bisa lagi berteriak atau menangis. Aku hanya bisa pasrah, mengikuti ombak yang bergulung.

Ketika ombak telah menghentikan amukannya, aku baru tersadar, aku telah jatuh ke tanah dengan setengah bagian tubuhku terhimpit kayu besar. Hanya mataku yang bisa bergerak kesana kemari melihat keadaan sekitar.

Ya Tuhan! Semuanya porak poranda. Terdengar banyak suara merintih dan mengaduh di sana sini. Bagaimana ini? Apa yang harus aku lakukan? Aku kesulitan bergerak. Kayu besar di atas tubuhku ini terasa sangat berat dan sulit untuk digerakkan.

 

“Halo! Adakah yang bisa mendengar suaraku?”

“Aku Garuda! Aku ada di sini, di bawah batang kayu besar ini!”

 

Aku terus bersuara. Berharap ada yang mendengar dan melihat aku di sini. Setengah tubuhku sudah tidak bisa merasakan apapun. Aku harus segera mengangkat beban dari kayu ini. Tiba-tiba aku mendengar seseorang memanggil namaku.

 

“Garuda! Syukurlah kau ketemu juga di sini!”

Aku tersenyum. Akhirnya, ada juga yang melihatku. Aku arahkan pandangannya kepadanya. Ah, Tadulako! Kawan akrabku. Syukurlah!

 

“Tadulako! Ah, aku sungguh senang kau menemukan aku, kawan.”

“Gegas! Badai! Hai teman-teman! Garuda ada di sini! Tolong aku untuk mengangkat kayu besar ini!” teriak Tadulako kepada teman-teman lain.

 

Ah, ternyata Gegas dan Badai juga ada di sini. Mereka kawan-kawan baikku. Teman bermain sedari kecil hingga sekarang.

Aku dibawa ke rumah sakit terdekat. Dan ternyata, kaki serta tangan kiriku mengalami retak tulang dan sudah terjadi infeksi. Tak ada jalan lain selain operasi dan amputasi. Aku akan kehilangan sebagian kaki dan tangan kiriku.

Kesedihan ini amat menyakitkan. Tidak pernah aku membayangkan akan hidup tanpa kaki dan tangan. Apa yang bisa aku lakukan ketika tak ada kaki dan tangan? Pikiran itu terus mengganggu hari-hariku.

Tetapi sakit karena kehilangan kaki dan tangan ternyata masih lebih ringan dibandingkan sakit dan kesedihan yang aku terima saat aku mengetahui bahwa ibuku telah pergi meninggalkan aku karena tsunami. Ibu, seorang wanita hebat yang selalu menjadi penyemangatku telah tiada. Aku sebagai anaknya tidak bisa memberikan penghormatan terakhir dengan layak.

Adikku juga hilang terbawa tsunami, sampai sekarang belum ketemu. Aku tidak bisa banyak berharap untuk bisa menemukan adikku. Keadaan membuatku pasrah pada keadaan. Aku pun tidak berani untuk berharap bisa segera menemukan adikku.

Aku merasa terpuruk.

Tetapi semangatku kembali muncul ketika aku melihat anak-anak kecil yang masih bisa bermain dan tertawa meskipun kehilangan anggota keluarga mereka. Anak-anak kecil itu bisa bersemangat, apakah aku akan kalah padahal aku lebih dewasa dibandingkan mereka? Aku malu kepada mereka.

Ah, tidak. Aku tidak akan terpuruk. Aku akan memupuk semangat di atas puing-puing tempat tinggalku. Pantai Talise.

 

***

Kini,  pantai Talise telah porak poranda diterjang Tsunami beberapa waktu yang lalu. Peristiwa itu menyisakan kesedihan dan tangisan bagi seluruh warga.  Begitu pula bagiku. Garuda,  sebagai salah satu penduduk pantai Talise yang selamat.

Melihat teman-temanku membantu warga sekitar,  aku sangat ingin melakukan hal yang sama.  Namun aku tidak bisa melakukan kegiatan fisik yang berat saat ini,  karena kondisi tubuh yang masih perlu perawatan dan untuk berdiri pun butuh bantuan tongkat penyangga.

Namaku Garuda, pemuda gagah yang berdiam di sekitar pantai Talise sejak dilahirkan. Tsunami telah membuaku kehilangan keluarga. Kaki dan tangan kiriku telah hilang di meja operasi.

Tidak ada yang mampu membuatku sangat bersedih kecuali saat aku mengetahui bahwa adik kesayanganku telah hilang terseret ombak tsunami dan ibu juga meninggal setelah mencoba berlari namun terlambat.

Tsunami telah menghancurkan hidupku. Tsunami telah menghancurkan hidup warga Talise.

Namun, warga sadar. Hanya berdiam diri tanpa bergerak bukanlah sebuah pilihan. Kehidupan yang hancur harus segera dibangun kembali. Semangat harus tetap dikobarkan.

Sebagai salah satu pemuda Talise, aku sadar betul akan hal tersebut. Tegakkan kepala, mencoba untuk membangun kembali semangat yang sempat runtuh. Menyeka airmata yang sempat luruh.

“Kita harus bangkit! Tuhan tidak akan membantu, jika kita hanya berdiam diri. Meskipun aku pasti tidak akan bisa banyak membantu,” ujarku kepada teman-teman.

Membantu warga sekitar untuk mulai membersihkan dan membenahi semua lingkungan. Teman-temanku sudah mulai melakukan pembersihan. Namun aku belum bisa melakukannya.

Sungguh, aku sangat bersedih karena belum bisa ikut membantu.

“Teman-teman, apa yang harus aku lakukan agar bisa membantu kalian?” tanyaku penuh kepiluan.

“Hai Garuda! Janganlah kau bersedih! Kami semua tahu keadaanmu. Pulhkan dulu kesehatanmu. Mana mungkin engkau membantu kami mengangkat kayu-kayu ini, jika mngangkat badanmu sendiri pun masih sulit?” Tadulako menjawab dengan ceria.

“Ah, kau ini. Masih bercanda saja,” sahutku sambil tersenyum.

“Sudahlah, Garuda. Tenang saja. Engkau duduk saja di situ. Kehadiranmu sudah sangat membantu Kami,” Gegas menjawab sambil menghampirku dan menepuk bahu.

“Aku harus melakukan sesuatu Gegas,  tak bisa hanya berdiam diri saja begini,” kataku kepada Gegas, teman yang ikut sibuk membantu warga yang butuh bantuan dan juga ikut membersihkan pantai.

 

“Banyak hal yang bisa kau lakukan,  tanpa harus kegiatan fisik yang berat,” kata Gegas, “ayo tunjukkan semangatmu Garuda!”

 

***

 

Jan2020

Wimala Anindita

0