Aku pikir pagi ini akan bertemu dengan angin semilir sepoi-sepoi yang lembut dan membuat bahagia. Tetapi ternyata Tedjo membawa motor sangat kencang, bukan lagi angin yang aku rasakan, namun sebuah pusaran besar badai lokal yang mengacak-acak rambut indahku, jika aku punya rambut. Beruntung kepalaku botak, jadi tak perlu sisir saat turun dari motor.
Ah, akhirnya motor berhenti tepat di depan sebuah rumah besar berwarna putih dan abu-abu. Mungkin inilah rumah terbesar yang pernah aku kunjungi. Rumah yang indah, suasananya terasa nyaman. Begitulah yang aku pikirkan saat melihatnya.
Setelah menunggu beberapa menit, terlihat seorang perempuan muda mengenakan hijab membuka pagar rumah. Dia tersenyum manis sekali. Aku suka dia! Andai saja diberikan ijin untuk selalu mendampinginya, tentu aku sangat bersedia.
Tedjo menghampiri Dia, dan menyerahkan aku kepada perempuan cantik itu. Setelah memberikan sejumlah uang dan mengucapkan terimakasih kepada Tedjo, dia menutup pagar rumah. Aku hanya bisa mendongak melihat wajahnya yang ayu.
Oh iya, perkenalkan aku adalah sebuah tabung gas melon. Aku tak tahu pasti, kenapa aku disebut sebagai melon. Mungkin karena warnaku hijau mirip buah melon. Beruntung aku tidak disebut balon hijau, mungkin yang memberi nama takut kalau aku meletus seperti lagu balonku yang sering dinyanyikan anak-anak.
Di dalam rumah, perempuan itu membawaku ke sebuah ruangan di samping ruang makan. Sepertinya dapur, tetapi bersih sekali. Beda dengan dapur-dapur lain yang pernah aku singgahi. Di ujung ruang, aku melihat dua tabung biru besar, sepertinya mereka adalah kakak-kakakku atau bapak ibuku ya? Yang jelas mereka adalah pendahuluku, dan biasanya digunakan oleh orang-orang yang lebih secara materi.
Sedangkan aku, diperuntukkan bagi masyarakat menengah ke bawah. Sebab hargaku masih terjangkau untuk mereka. Masyarakat masih disubsidi oleh pemerintah untuk memanfaatkan aku.
Sepertinya aku mulai mengenal rumah ini meskipun baru pertama kali masuk. Yah, aku sering mendengar para ibu berbicara di sana sini tentang sebuah rumah besar yang masih menggunakan gas melon unuk kebutuhan memasaknya.
Hmmm… mungkin memang para tukang gibah itu ada benarnya. Mengapa orang kaya masih menggunakan aku untuk menyalakan api di dapurnya? Rumah ini terlihat lebih bagus dibandingkan rumah mereka. Perabotnya pun kelihatan lebih berkelas. Bahkan panci masak yang menggantung di dapur sangat bersih dan terlihat bukan barang murahan.
Tidak lama setelah aku duduk manis, aku mendengar suara seorang laki-laki.
“Bun, lumayan nih ada singkong yang sudah bisa dicabut. Daunnya juga bisa dibuat sayur ya. Apakah masih punya beras, Bun?”
“Alhamdulillah, Ayah. Beras masih cukup untuk dua hari. Singkong bisa dimasak nanti di hari ketiga. Daun singkongnya bisa dicukupkan sebagai teman nasi untuk beberapa hari,” jawab perempuan cantik.
“Ada jajanan atau cemilan untuk Shifa atau tidak, Bun?” tanya laki-laki itu lagi.
“Tenang Ayah. Ada sisa nasi yang sudah dikeringkan, bisa dibuat cengkaruk nanti. Masih ada juga tepung aci ditambah singkong itu. Nanti bisa kita buat cemilan untuk Shifa. Cukuplah untuk beberapa hari.” sahut si perempuan.
Ups. Sebentar, sepertinya ada yang salah di sini. Orang-orang di luar sana bilang bahwa penghuni rumah besar ini orang kaya. Mengapa obrolan mereka sama sekali tidak mencerminkan bahwa mereka orang kaya? Bahkan makanan mereka pun sepertinya terbatas? Ada apa ini? Apakah ibu-ibu tukang gibah itu salah? Mendengar obrolan mereka membuat hatiku perih. Biasanya di rumah lain, aku lebih banyak jengkel karena kata-kata kasar dan kesombongan yang mereka tunjukkan.
Keluarga ini berbeda.
***
Sudah satu minggu aku di rumah bagus ini. Beberapa peristiwa terjadi. Ada yang menyenangkan namun lebih banyak yang memprihatinkan. Beberapa mengundang senyum dan tawa tetapi sering terasa kesedihan serta airmata. Keluarga ini benar-benar sedang mengalami kesulitan. Satu hal yang perlu aku acungin jempol, mereka hampir tidak pernah mengeluh.
Ternyata rumah ini adalah rumah keluarga. Peninggalan dari orang tua pak Teguh, orang yang sekarang menempati rumah. Baru sekitar delapan bulan mereka menempati rumah, setelah pak Teguh kena PHK dari perusahaannya karena adanya pandemi. Karena khawatir Pak Teguh dan keluarganya akan kesulitan keuangan, saudara-saudaranya meminta mereka menempati rumah orang tua, sekalian untuk menjaga dan merawat rumah peninggalan orang tua.
Selama delapan bulan ini mereka hidup dari uang tabungan saja. Itu sebabnya mereka sangat hemat dalam menggunakan uang. Pak Teguh belum mendapatkan pekerjaan lagi. Istrinya, yaitu si perempuan cantik, sangat pintar mengolah keuangan dan juga mengolah bahan makanan seadanya menjadi sesuatu yang bisa mereka konsumsi.
Mereka memanfaatkan sedikit lahan di belakang rumah untuk menanam sayuran, singkong, dan beberapa jenis tanaman lain yang bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan sehari-hari.
Benar-benar keluarga yang bisa dijadikan contoh dalam hal menerima keadaan dan takdir yang diberikan. Aku jadi ingat kepada anak-anak Pramuka, yang diajarkan untuk menjadi manusia yang hemat, cermat, dan bersahaja. Itulah yang aku pelajari selama di rumah pak Teguh.
Mereka tanpa mengeluh, tetap menjalani hidup dengan baik dan menggunakan uang dengan cermat dan hemat. Bahkan sampai satu minggu ini, aku masih awet. Kira-kira masih setengah lagi isi tubuhku. Di rumah lain, aku bisa habis sekitar satu minggu. Bahkan ada yang menghabiskan isi tubuhku hanya tiga hari saja.
***
Dari pengalamanku selama berada di rumah pak Teguh, aku meyakini bahwa yang namanya membicarakan orang lain tidak pernah ada baiknya.
Mereka membicarakan keluaga pak Teguh yang kaya dengan rumah besar, mengapa masih menggunakan gas melon untuk memasak. Mengapa mereka jarang belanja. Bahkan anaknya yang hampir tidak pernah jajan pun dibicarakan.
Hah! Dasar ibu-ibu dan bapak-bapak tukang gibah!
Aku rasanya ingin marah ke mereka! Andai aku bisa berteriak di hadapan mereka!
Hoi! Jangan suka membicarakan orang lain seenak udelmu sendiri! Kalian tidak tahu apa yang mereka alami. Kalian tidak tahu usaha apa yang telah mereka jalani. Yang aku tahu, kalian sudah membuat gibahan ini berjalan ratusan kilometer jauhnya, tanpa bisa dikendalikan.
Bisik-bisik dan gibahan kalian telah merugikan keluarga kecil yang bersahaja. Tidak kenal tapi sok tahu dan sok mengerti.
Yakin kalian bisa mempertanggungjawabkan gibahan kalian?
Yakin bisa?
Hhhh… dasar! Mulut-mulut tukang gibah! Entah kapan kalian bisa berubah!
21102021
0